Melihat gelombang gerakan mahasiswa Indonesia dari
berbagai Perguruan Tinggi atau kampus di seluruh Indonesia yang semakin meluas
belakangan hari ini, bahkan mendapat dukungan secara langsung dan atau pun
tidak langsung dari berbagai elemen masyarakat untuk menuntut berbagai macam masalah
di negara kita ini. Gelombang gerakan yang meluas ini telah mendapat tindakan
represif, padahal aturan hukumnya dalam UU No.9 tahun 1998 melegalkan adanya
aksi unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi di depan umum. Hingga sampai hari
ini, tindakan represif dari aparat kepolisian telah memakan dua korban jiwa
dari aktivis mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tidak sedikit juga,
aktivis mahasiswa pro rakyat mengalami luka-luka dan di tahan oleh pihak
kepolisian di berbagai daerah.
Nampaknya, tindakan represif tersebut tidak hanya
didapatkan oleh mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi dari berbagai kampus.
Akan tetapi, kampus (basis mahasiswa) lewat pimpinan kampus mendapat intervensi
dari pemerintah agar membungkam suara-suara mahasiswa yang belakangan hari ini
tumpah puluhan ribu untuk turun aksi dengan membawa sejumlah poin tuntutan
kepada pihak pemerintahan. Fenomena ini dibuktikan dengan dua hal. Pertama, keluarnya surat dari pimpinan
kampus yang mengandung isi agar tidak ikut berdemonstrasi. Kedua, pihak pemerintah lewat Kementerian Pendikan Tinggi dan
Riset, akan menindak tegas apabila pimpinan kampus tidak bisa mengamankan
mahasiswa-mahasiswanya.
Dari intervensi pemerintah yang telah diaminkan oleh
kampus, kita pun mempertanyakan di manakah letak kemerdekaan kampus saat ini?
mengapa pihak kampus “menekan” atau ingin membungkam gerakan mahasiswa yang
sedang memperjuangkan hak-hak rakyat dan mengkritik kedzaliman yang terjadi
dari beberapa oknum pemerintahan? Bukankah seharusnya kampus harus merdeka dari
intervensi pemerintahan? Hovde pernah mengatakan bahwa universitas atau kampus
adalah pusat kebebasan intelektual, sebagai lembaga yang mendorong untuk
menemukan hal-hal baru, mengajar dan berdiskusi serta memberi kritik terhadap
sesuatu yang salah. (Rusli Karim,
1987:1).
Pertanyaan selanjutnya, adakah ketakutan pihak
pemerintah terhadap gerakan mahasiswa Indonesia saat ini? Jika memang benar
demikian, ada benarnya juga sebuah adagium yang mengatakan; “Mahasiswa takut
pada dosen. Dosen takut pada Rektor. Rektor takut pada Menteri. Menteri takut
pada Presiden. Dan Presiden takut pada mahasiswa.”
Menerapkan NKK/BKK
Ala Baru
Dari ketakutan-ketakutan pemerintahan terhadap gerakan
mahasiswa Indonesia yang sudah memiliki akar sejarah gerakan yang kuat sejak
1908, 1928, 1945, 1966, 1974 dan 1998, yang berhasil menciptakan sebuah
perubahan besar hingga berhasil menumbangkan rezim, pemerintah pun kini kembali
atau meniru metode pembungkaman suara-suara mahasiswa, yang dikenal pada rezim
Orde Baru (Orba) dengan sebutan Normalisasi Keadaan Kampus/Badan Koordinasi
Kampus alias NKK/BKK.
Jika sedikit berkaca pada serajarh gerakan mahasiswa
Indonesia di masa Orba, kita akan lihat bahwa betapa ditekannya kampus dengan
penerapan NKK/BKK. Tujuan menerapan NKK/BKK ini adalah untuk mempersempit ruang
gerak mahasiswa sebagai generasi pembaharu yang di awali dari peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974 sehingga membuar rezim Orba semakin
otoriter. (Ahan Syahrul, 2011:20).
Kemerdekaan kampus dan mahasiswa dirampas, sebagai lembaga pendidikan tinggi
yang diisi kaum intelektual tidak dapat lagi mengekspresikan dirinya
sebagaimana kemauan objektif ilmu pengetahuan dan kebenaran. Akan tetapi,
seluruh ekspresi harus sesuai apa yang dimau oleh rezim pemerintahan. Peran
kampus untuk mengkritisi apa yang salah dari pemerintahan ketika dianggap
mengganggu akan dimusnahkan. Demokrasi atau kebebasan berpendapat serta
menyampaikan aspirasi dibungkam habis. Dengan NKK/BKK ini, segala bentuk
kemerdekaan kampus dilarang, hingga rezim Orba tumbang tahun 1998.
Kini NKK/BKK kembali menjelma lagi walau dengan “baju”
dan cara-cara yang halus. Subtansinya tetap
sama, yaitu untuk mematikan kemerdekaan kampus dan mempersempit ruang gerak
mahasiswa. Bentuk cara-cara yang halus tersebut salah satunya adalah dengan
dipaksakannya pihak kampus untuk menerbitkan surat sebagaimana yang telah kita
bicarakan di atas tadi. Intervensi pemerintah terhadap kampus hari ini tidak
berbeda jauh dengan intervensi pemerintah terhadap kaumpus waktu rezim Orba.
Menanggapi penerapan NKK/BKK ala baru saat ini, saya menduga bahwa ada kerancauan berpikir yang
terjadi pada pihak pemerintah. Kerancauan berpikir tersebut, yaitu adanya
pelarangan terhadap mahasiswa untuk berunjuk rasa padahal unjuk rasa dijamin
oleh Konstitusi UUD NKRI 1945 dan UU. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di
depan umum bagi setiap warga negara Indonesia memiliki landasan hukum. Entah
apa yang merasuki pemerintah sehingga mengintervensi pihak kampus supaya
menghambat gerakan mahasiswa.
Kerancauan berpikir selanjutnya adalah dengan
menerapkan NKK/BKK ala baru;
memberikan tindakan keras kepada pimpinan kampus, apabila tidak dapat membendung
gerakan mahasiswa. Hal ini merupakan suatu bentuk tirani atau tindakan
otoritarianisme pemerintah terhadap pimpinan kampus, sehingga merenggut
kemerdekaan kampus dan warga kampus.
Pemerintah perlu mencatat bahwa, apabila terjadi kerusuhan
dalam demonstrasi mahasiswa, bukan kampus dan mahasiswa yang harus direnggut
kemerdekaannya. Dan perlu kita tekankan, kerusuhan yang terjadi bukanlah
semata-mata kesalahan mahasiswa. Tapi, karena adanya sikap tidak koperatif dari
pemerintahan dalam merespon aspirasi mahasiswa. Ditambah lagi, adanya tindakan
represif dari pihak kepolisian terhadap mahasiswa yang turun aksi. Singkatnya,
adanya akibat karena adanya sebab.
Kampus Harus Pro
Mahasiswa
Sebagai bentuk solusi, pihak kampus harus pro terhadap
gerakan mahasiswa, karena apa yang menjadi tuntutan gerakan saat ini adalah
untuk kepentingan rakyat Indonesia. Belakangan hari ini mahasiswa turun aksi
untuk menjegal kepentingan dari beberapa kelompok pejabat negara yang telah
menghianati rakyat. Tidak ada terbersit, sampai hari ini untuk menjegal
pelantikan Jokowi sebagaimana yang dituduhkan oleh Wiranto yang saat ini
menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam).
Mencurigai rakyat atau gerakan mahasiswa saat ini tanpa dasar
dan bukti-bukti konkret tidaklah etis. Jika hanya asumsi-asumsi belaka, itu
merupakan seolah ada “cuci tangan” akibat permasalahan politik, hukum, dan
keamanan yang tak maksimal ditangani oleh bidang pemerintah terkait. Sebenarnya,
yang mencurigai itu perlu untuk dicurigai apa sebab dan tujuannya mengatakan
bahwa gelombang demonstran saat ini adalah upaya penjegalan.
Kampus harus pro terhadap mahasiswa, karena
mahasiswalah yang mengisi dan menghidupkan jalannya kampus. Kampus dapat
berdiri karena adanya mahasiswa, bukan karena ada penguasa. Sejatinya lembaga
pendidikan didirikan untuk mendorong terwujudnya peradaban manusia, bukan untuk
memenjarakan manusia lewat pendidikan. Tujuan pendidikan di Indonesia telah
jelas sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Secara umumnya, lembaga
pendidikan didirikan untuk memanusiakan manusia lewat jalur pendidikan.
Sehingga, lembaga pendidikan (kampus) harus benar-benar merdeka agar tercapai
tujuannya dan kepentingannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk
kekuasaan.
Walau sudah terlanjur mengaminkan dan melaksanakan
NKK/BKK ala baru ini, kampus harus segera
melepaskannya dan mendukung secara moril apa yang telah diperjuangkan mahasiswa
saat ini. Jangan sampai kampus bertindak “represif” terhadap mahasiswa yang
ingin menyampaikan aspirasi rakyat. Kampus harus pro pada kebenaran, bukan pada
kekuasaan. Jika hal-hal ini dan yang semakna yang tersebutkan, tidak dipenuhi oleh
kampus, maka layaklah kita mempertanyakan kemerdekaan kampus yang ada di
Indonesia saat ini.[]
0 Komentar