Banyak
mahasiswa mengira bahwa di bangku kuliah mereka akan belajar tentang hal-hal yang membuat mereka siap
bekerja. Yang dibayangkan adalah ketika lulus nanti mereka akan mendapat pekerjaan dengan bekal apa yang sudah mereka
pelajari. Pikiran seperti itu hanya cocok untuk peserta kursus
menjahit yang ingin mencari kerja sebagai tukang penjahit.
Pekerja lulusan Perguruan Tinggi tidak diharapkan demikian.
Mungkin hanya 10% dari apa yang dipelajari dari
kurikulum kuliah yang terpakai di dunia kerja. Dalam banyak kasus,
malah jauh di bawah angka 10%.
Kalau
begitu untuk apa kuliah
bertahun-tahun mempelajari ilmu yang kemudian tidak dipakai? Kuliah,
sekali lagi bukan kursus keterampilan. Tujuan utama kuliah adalah untuk mengasah kemampuan
belajar. Materi kuliah pada akhirnya hanyalah
sampel yang pada tingkat tertentu
bisa diganti-ganti. Lulus kuliah tidak berarti bahwa seseorang
sudah lengkap ilmunya, dan siap memasuki dunia kerja. Lulus kuliah hanya
bermakna bahwa seseorang sudah menjalani proses belajar, dan ia sudah
menunjukkan kemampuan belajarnya, dan siap untuk belajar lagi.
Ketika
memasuki dunia kerja, orang tidak dihadapkan pada persoalan seperti saat menyelesaikan
soal ujian di kelas. Ia akan menyelesaikan masalah yang
selalu punya banyak dimensi. Dalam setiap masalah, ia harus belajar lagi untuk
mencari penyelesaiannya. Yang harus ia pelajari tidak terbatas pada bidang yang
tadinya ia tekuni, tetapi meliputi berbagai bidang. Dan setiap hari, setiap
saat, ia akan dihadapkan pada situasi itu. Setiap hari dan setiap saat, ia
harus belajar, lagi dan lagi. Bahkan seseorang presiden direktur, seorang pakar
sekalipun harus selalu belajar.
Banyak mahasiswa yang belajar demi
menghadapi ujian kuliah. Lulus ujian adalah tujuan belajar. Bahkan, lulus ujian
adalah tujuan dari tujuan. Karenanya kita sering menemukan mahasiswa menyontek
saat ujian. Pada titik itu, ia sudah gagal sebagai mahasiswa, karena ia gagal
memahami makna yang paling dasar dari proses belajar. Besar kemungkinan ia
hanya akan jadi penenteng ijazah kosong saat lulus nanti.
Banyak pula mahasiswa yang tidak menghayati
proses belajar. Ketika praktikum, misalnya, mereka hanya fokus pada materi
akademik belaka. Padahal, ada banyak sisi non-akademik seperti kerjasama, kepemimpinan,
etika, dan lain-lain (yang harus dipelajari-ed).
Banyak yang menghabiskan waktu dengan menekuni buku teks, menjadi penghafalnya,
tetapi tidak pernah peduli pada hal lain seperti pergaulan, komunikasi, dan
hal-hal lain yang dikenal sebagai soft skill.
Hasilnya adalah seseorang yang mahir dalam hal-hal teknis, tetapi gagap dalam
kerjasama.
Di akhir tulisan singkat ini, saya ingin
kutipkan penggalan cerita dalam Al-Qur’an, ketika Allah hendak menciptkan Adam,
dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Para malaikat keberatan, lalu
Allah menunjukkan alasan-Nya. Kenapa Adam diajarkan nama-nama benda, yang
ketika ditanyakan kepada malaikat mereka tak tahu jawabannya. Adam tahu.
Mengapa? Karena manusia dibekali kemampuan belajar. Pesan Allah sangat jelas:
hanya yang mampu belajar yang akan jadi khalifah.[]
NB: Tulisan di atas dikutip dari tulisannya
Kang Hasan yang berjudul, “Menjadi
Mahasiswa yang Belajar.” Dalam bukunya Melawan
Miskin Pikiran, hal: 48-49.
0 Komentar